"Bang, menurutmu, gimana sikap orang-orang yang ngusir salah satu cawagub dari masjid itu?" Tanya salah seorang kawan.
Aku segera menggeleng, enggan menjawab. "Nanti," alasanku, "aku dianggap dukung si A atau si B. Aku nggak mau dianggap jawabanku sebagai bentuk sikap politik."
"Sumpah enggak," jawabnya, sembari memaksa-maksa lama dengan beberapa kalimat. Sampai akhirnya ia sendiri bilang, "ekstremisme sudah muncul dimana-mana, Bang. Ntar jawabanmu aku pakai untuk membenarkan pemikiran sebagian kawan di luar daerah itu, bukan di daerah itu."
Akhirnya, untuk titik ini aku mau berpikir ulang. Bahkan berpikir untuk menuliskan kisah obrolan kita itu, di postingan kali ini.
Aku jawab saja pertanyaannya dengan jujur, "terlepas dari kasus yang ada, yang aku tahu, Nabi bahkan tak pernah mengusir satu orangpun dari masjid. Bahkan orang yang jelas tak mau Islam sekalipun." Lalu aku mengambil kitab-kitab Sirah Nabi untuk aku tunjukkan ke kawanku itu, "paling jelas ya Nashara Najran datang ke Nabi, malah diterima dengan baik sekali oleh Nabi. Mereka ingin berdiskusi, dan beliau menerima. Bahkan," aku mengambil nafas dalam-dalam, sedikit kesal dengan ingatan tuduhan yang tidak-tidak hanya gara-gara memberitahukan sejarah yang akan aku sampaikan pada kawanku itu, "orang-orang Nasrani tersebut meminta pada Nabi agar menjalani misanya di dalam masjid Nabawi di hadapan beliau. Dan beliau mengizini."
"Nggak di usir?" Tanyanya.
"Nggak," aku menggeleng. "Dan banyak sekali orang non-muslim atau bahkan kafir yang masuk ke masjid, dan oleh Nabi diterima saja. Dibiarkan saja. Abu Sufyan yang datang ke Madinah saat mendengar Kesepakatan Hudaibiyyah dilanggar sebagian rakyatnya, Nabi menerima saja. Dan kisah orang-orang kafir yang membawa misi membunuh Nabi dalam masjid, 'kan berulang kali tuh. Nabi menerima mereka semua. Dan berapa tahun orang munafik ada di Madinah, dan selama itu pula Nabi membiarkan mereka masuk. Padahal Nabi tahu siapa saja yang munafik. Bahkan Alquran memberitahu ciri-ciri orang munafik yang datang ke Masjid. Tapi Nabi nggak ngusir, shahabat juga nggak."
"Tapi," sangkalnya, mengingat sesuatu, "pas perang Badr, orang-orang kafir kan ditahan di masjid, Bang? Penahanan kan juga sekilas bentuk kezaliman, dari kacamata musuh, tentunya."
Lagi-lagi aku menggelengkan kepala, "satu, saat itu emang belum dikenal sistem penjara--bahkan baru dikenal di zaman Sayyidina Umar. Maka tahanan ditaruh di masjid, dengan pengawasan dari shahabat. Tapi, meski begitu, para shahabat diharuskan oleh Nabi untuk berbuat sebaik mungkin pada para tawanan. Nggak ada sedikit kezaliman pun terjadi, dan mereka benar-benar 'dimanusiakan'. Nggak ada yang memungkiri itu. Dan kedua, itu cuma sekilas, dan pake cara pandang orang kafir. Ya jangan ditiru..."
Dia mengangguk, tapi dengan gaya sedikit ragu. "Gitu ya... Tapi yang ngusir-ngusir kemarin itu merasa Islami, loh, Bang. Mereka kan membela Islam."
"Membela Islam bukan dengan cara yang dilarang Islam, lah. Apalagi yang diusir juga sesama muslim," tandasku. "Malah yang ada, pengusiran dari masjid dilakukan oleh orang-orang kafir yang selalu merasa sok benar. Mereka..." Ah, aku kelepasan bicara. Aku diam, ingin meralat.
"Hayo terusin, Bang. Nanggung!"
Lagi-lagi dipaksa oleh kawanku itu. Dan aku terpaksa meneruskan, "yah... Gimana yah. Dari pertama Islam muncul, kan kaum minoritas muslim selalu diusir tuh dari masjid sama orang-orang kafir Quraisy. Belum lagi diolok-olok, dilempari, dipukuli, disiksa. Dan banyak yang lainnya."
"Sekalian lah, Bang!"
Aku menarik nafas lagi. Dasar. "Yah... Pas mau perjanjian Hudaibiyyah, kan Nabi sama para shababat juga dilarang masuk Masjidil Haram sama orang-orang kafir juga. Diusir dari Mekkah juga. Abu Bakr dulu punya mushalla di depan rumahnya, milik pribadi, juga sama orang kafir Quraisy disuruh ngebubarin. Banyak dah pokoknya. Jangan diusut, cari sendiri di buku sejarah!"
"Dih," kata dia, "nanggung banget neranginnya. Nyembunyiin ilmu bisa-bisa masuk neraka loh, Bang."
Aku kesel juga lama-lama. Tapi, mau gimana lagi. "Pokoknya, konklusinya, kalo orang yang ngerasa benar, selalu aja ngusir-ngusir dari tempat ibadah. Dan orang yang benar, Nabi dan para shababat, mengajarkan kita untuk menerima siapapun. Membuat masjid menjadi tempat yang aman dan tentram plus penuh kasih sayang. Bahkan pas Pembebasan Kota Makkah, Nabi bilang ke semua orang kafir, "mereka yang masuk masjid maka mereka aman", menjadikan masjid tempat aman dan contoh kelembutan dan kebaikan Islam. Ya masak kita yang kroco-kroco ini membuat masjid jadi tempat teror dan pengusiran, laluerasa itu ngebela Islam. Kan lucu? Pokoknya gitu, lah!"
Dia mengangguk-angguk sedikit puas. "Jadi, bener ya, Bang, kamu sebenernya dukung mencoblos paslon tertentu?"
Kali ini aku melotot, "aku wong Jawa Timur, saiki urip nang Arab, sing tak coblos kui matamu!" Dan kotak tissue pun terbang ke mukanya. Dia tertawa terbahak-bahak.
"Liberal!"
"Yawes! Ra pathe'en!"
Dan akhirnya aku juga ikut merasa geli. Emang kawan rese!
@bangmiqo
@Makkah, Jumat Sore, Rajab 19, 1438 H
(di ambil dari FB Bang Miqo)