Dalam menyikapi masalah bid’ah, golongan ahlussunnah wal jama’ah (baca “NU”) sangat berhati-hati dan tidak gegabah menilai sesama muslim sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah). Karena menuduh bid’ah berarti menuduh sesat dan setiap kesesatan akan berujung di neraka. Artinya ketika menjudge bid’ah, berarti telah menghukumi saudara muslim sebagai orang yang sesat yang akan berujung di neraka.
Di bawah ini adalah pengertian dan pembagian bid’ah menurut para Ulama’ dari kalangan madzhab Syafi’I :
01. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris As Syafii, mujtahid agung pendiri madzhab Syafii yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal Jamaah di dunia Islam, berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al Quran, Sunnah, Ijma atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al Quran, Sunnah, mau pun Ijma, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafii juz 1/ 469)
Dalam riwayat lain Imam Syafii berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ : بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela.” (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari).
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafii ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti Izzuddin bin Abdis Salam, Imam Nawawi, Ibnu `Arofah, al Hathab al Maliki, Ibnu Abidin dan lainnya. Dari kalangan ahlul hadits ada Ibnul Arobi al Maliki, Ibnul Atsir, al Hafidz Ibnu Hajar, al Hafidz as Sakhawi, al Hafidz as Suyuthi dan lainnya. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al Fayyumi, al Fairuzabadi, az Zabidi dan lainnya.
02. Imam ar Rabi bin Sulaiman, periwayat ilmu Imam Syafii termasuk salah satu yang meriwayatkan ucapan Imam Syafii :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ ضَلاَلـَةٌ، وَالثَّانِيَةُ مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ
“Perkara baru yang diada-adakan itu ada dua macam: Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, atsar Sahabat atau ijma’ ulama’, maka bid’ah itu adalah sesat (fa hadhihil-bid‘atu dalalatun). Kedua, perkara baru yang diadakan dari segala kebaikan (ma uhditsa min al-khair) yang tidak bertentangan dengan hal yang disebutkan, yang ini bukan bid’ah dicela (wa hadhihi muhdatsatun ghairu madzmumah).” [ Diriwayatkan dari al-Rabi` oleh al-Bayhaqi didalam “al-Madkhal” dan “Manaqib asy-Syafi`i, I : 469 dengan sanad shahih dan dishahihkan juga oleh Ibnu Taimiyyah dalam “Dar’u Ta`arud al-`Aqli wan-Naqli, hal. 171 dan melalui al-Baihaqi oleh Ibn `Asakir dalam “Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 97. Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam “Siyar”, VIII : 408, Ibnu Rajab dalam “Jami` al-`Ulum wal-Hikam, II : 52-53, Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253.].
03. Imam Mujtahid, Izzuddin bin Abdis Salam mempelopori pembagian bid’ah menjadi lima. Dalam hal ini beliau mengatakan :
اْلبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ الله وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى: بِدْعَةٍ وَاجِبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَنْدُوْبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَكْرُوْهَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُبَاحَةٍ، وَالطَّرِيْقُ فِيْ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ اْلإِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ التَّحْرِيْمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ الْمَنْدُوْبِ فَهِيَ مَنْدُوْبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاِعِد الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ. وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ: أَحَدُهَا: اْلاِشْتِغَالُ بِعِلْمِ النَّحْوِ الَّذِيْ يُفْهَمُ بِهِ كَلاَمُ اللهِ وَكَلاَمُ رَسُوْلِهِ وَذَلِكَ وَاجِبٌ لأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ وَاجِبٌ وَلاَ يَتَأَتَّى حِفْظُهَا إِلاَّ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ، وَمَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ. الْمِثالُ الثاَّنِيْ: الْكَلاَمُ فِيْ الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْل لِتَمْيِيْزِ الصَّحِيْحِ مِنَ السَّقِيْمِ. وَلِلْبِدَعِ الْمُحَرَّمَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا مَذْهَبُ الْقَدَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْجَبَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُرْجِئَةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُجَسِّمَةِ. وَالرَّدُّ عَلىَ هَؤُلاَءِ مِنْ البِدَعِ الوَاجِبَةِ. وَلِلْبِدَعِ الْمَنْدُوْبَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا: إِحْدَاثُ الْمَدَارِسِ وَبِنَاءُ الْقَنَاطِرِ، وَمِنْهَا كُلُّ إِحْسَانٍ لَمْ يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ اْلأَوَّلِ، وَمِنْهَا صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ.. وَلِلْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا زَخْرَفَةُ الْمَسَاجِدِ، وَمِنْهَا تَزْوِيْقُ الْمَصَاحِفِ. وَلِلْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا التَّوَسُّعُ فِي اللَّذِيْذِ مِنَ الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ وَالْمَلاَبِسِ وَالْمَسَاكِنِ، وَلُبْسُ الطَّيَالِسَةِ، وَتَوْسِيْعُ اْلأَكْمَامِ
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah. Bid’ah terbagi menjadi lima; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah. Dan jalan untuk mengetahui hal itu adalah dengan membandingkan bid’ah pada kaedah-kaedah syariat. Apabila bid’ah itu masuk pada kaidah wajib, maka menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk pada kaidah haram, maka bid’ah muharramah. Apabila masuk pada kaidah sunat, maka bid’ah mandubah. Dan apabila masuk pada kaidah mubah, maka bid’ah mubahah.
- Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Contoh kedua, pembahasan mengenai jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah.
- Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, diantaranya bid’ah ajaran orang-orang Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bidah-bid’ah tersebut termasuk hukumnya wajib.
- Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, diantaranya mendirikan sekolah-sekolah dan setiap kebaikan yang tidak pernah dikenal pada abad pertama, dan diantaranya shalat Tarawih (berjamaah dalam satu imam).
- Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, diantaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf Al-Quran.
- Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, diantaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai songkok thaylasan, memperlebar lengan baju dan lain-lain.” (Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/133).
Pandangan Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam ini yang membagi bid’ah menjadi lima bagian dianggap sebagai pandangan yang final dan diikuti oleh mayoritas ulama terkemuka dari kalangan fuqaha dan ahli hadits.
04. Imam Muhaddits al Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an Nawawi juga membagi bid’ah secara umum kepada dua bagian. Ketika membicarakan masalah bidah, beliau mengatakan :
اَلْبِدْعَةُ بِكَسْرِ اْلبَاءِ فِي الشَّرْعِ هِيَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إِلى حَسَنَةٍ وَقَبِيحَةٍ.
“Bid’ah –dengan mengkasroh huruf ba– menurut syariat adalah segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua, baik dan buruk.” (Tahdzib al Asma wa al Lughat 3/298 )
Secara lebih rinci, Imam Nawawi bahkan membagi bid’ah kepada lima bagian. Beliau melanjutkan :
قَالَ الشَّيْخُ اْلإِمَامُ الْمُجْمَعُ عَلَى إِمَامَتِهِ وَجَلاَلَتِهِ وَتَمَكُّنِهِ فِي أَنْوَاعِ اْلعُلُومِ وَبَرَاعَتِهِ أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ اْلعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ السَّلاَمِ رَحِمَهُ اللهُ وَرَضِيَ عَنْهُ فِي آخِرِ كِتَابِ القَوَاعِدِ اْلبِدْعَةُ مُنْقَسِمَةٌ إِلى: وَاجِبَةٍ، وَمُحَرَّمَةٍ، وَمَنْدُوبَةٍ، وَمَكْرُوهَةٍ، وَمُبَاحَةٍ. قَالَ: وَالطَّرِيقُ فِي ذلِكَ أَنْ تُعْرَضَ اْلبِدْعَةُ عَلى قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ، فَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ اْلإِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، أَوْ فِي قَوَاعِدِ التَّحْرِيمِ فّمُحَرَّمَةٌ، أَوِ النَّدْبِ فَمَنْدُوبَةٌ، أَوِ اْلمَكْرُوهِ فَمَكْرُوهَةٌ، أَوِ اْلمُبَاحِ فَمُبَاحَةٌ،
“Telah berkata Syaikh dan Imam yang telah disepakati ketokohannya, keagungannya dan kekokohannya dalam berbagai fan ilmu serta kejeniusannya Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdissalam menyebut di akhir buku beliau, al-Qawa`id (al-Kubra): “Bid’ah itu terbagi pada perkara-perkara wajib (wajibat), haram (muharramat), sunnah (mandubat), makruh (makruhat) dan boleh (mubahat). Seharusnya, cara menilai suatu Bid’ah itu dengan melihat kaidah syariat (qawaid syariah). Jika ia masuk dalam kategori kewajiban (ijab) maka jadilah ia Wajib, jika ia termasuk dalam keharaman maka jadilah ia Haram, jika ia termasuk hal yang mendatangkan keutamaan, maka jadilah ia sunah, apabila ia termasuk hal yang buruk maka jadilah ia makruh dan seterusnya. Selebihnya adalah bid’ah yang boleh.” (Tahdzib Al-Asma wa al-Lughat 3/298 ).
05. Imam al-hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Ahli hadits dan ahli fiqih bermadzhab Syafii. Secara umum beliau membagi bid’ah menjadi dua, dan secara rinci beliau membaginya menjadi lima bagian. Dalam kitabnya Fath al Bari, beliau mengatakan :
وَكُلّ مَا لَمْ يَكُنْ فِي زَمَنِهِ يُسَمَّى بِدْعَةً ، لَكِنَّ مِنْهَا مَا يَكُونُ حَسَنًا وَمِنْهَا مَا يَكُونُ بِخِلَافِ ذَلِكَ
“Segala sesuatu yang tidak ada di zaman Nabi SAW dinamakan bidah. Akan tetapi sebagian bid’ah itu ada yang baik dan sebagian lagi ada yang sebaliknya (buruk).” (Fath al Bari 4/318). Di tempat lain beliau berkata :
وَالْبِدْعَةُ أَصْلُهَا مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَتُطْلَقُ فِي الشَّرْعِ فِيْ مُقَابِلِ السُّنَّةِ فَتَكُوْنُ مَذْمُوْمَةً وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ وَإِلاَّ فَهِيَ مِنْ قِسْمِ الْمُبَاحِ وَقَدْ تَنْقَسِمُ إِلَى اْلأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ.
“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syariat, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syariat, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syariat, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Dan bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.” (Fath Al-Bari, 4/253).
06. Hujjatul Islam, al-Imam Muhammad bin Muhammad al Ghazali dalam masterpiece-nya Ihya Ulumiddin menyatakan :
وَمَا يُقَالُ إنَّهُ أُبْدِعَ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَلَيْسَ كُلُّ مَا أُبْدِعَ مَنْهِيّاً، بَلِ اْلمَنْهِيُّ بِدْعَةٌ تُضَادُّ سُنَّةً ثَابِتَةً وَتَرْفَعُ أَمْراً مِنَ الشَّرْعِ مَعَ بَقَاءِ عِلَّتِهِ، بَلِ اْلإِبْدَاعُ قَدْ يَجِبُ فِي بَعْضِ اْلأَحْوَالِ إِذَا تَغَيَّرَتِ اْلأَسْبَابُ
“Apa yang dikatakan bahwa itu (kenyang) adalah baru dilakukan setelah Rasulullah maka tidaklah semua perkara bid’ah itu dilarang. Yang dilarang adalah yang bertentangan dengan sunnah tsabitah dan menghilangkan suatu perkara syariat bersama tetapnya illatnya. Bahkan terkadang membuat hal baru (bidah) itu menjadi wajib ketika situasinya berubah.” (Ihya Ulumiddin, Adabul `Aqli 2/3)
Pada kesempatan lain, Imam Ghazali berkata ketika mengulas masalah penambahan titik pada al-Quran :
وَلاَ يَمْنَعُ مِنْ ذلِكَ كَوْنُهُ مُحْدَثاً فَكَمْ مِنْ مُحْدَثٍ حَسَن كَمَا قِيلَ في إِقَامَةِ الْجَمَاعاَتِ فِي التَّرَاوِيحِ إِنَّهَا مِنْ مُحْدَثَاتِ عُمَرَ رضي الله عنه وَأَنَّهَا بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ. إِنَّمَا اْلبِدْعَةُ اْلمَذْمُومَةُ مَا يُصَادِمُ السُّنَّةَ القَدِيمَةَ أَوْ يَكَادُ يُفْضِي إلى تَغْيِيرِهَا.
“Hakikat bahwa ia adalah perkara baru yang diadakan tidaklah menghalanginya untuk dilakukan. Banyak sekali perkara baru yang terpuji, seperti sembahyang Tarawih berjamaah, ia adalah Bid’ah yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ra, tetapi dipandang sebagai Bid’ah yang baik (Bid’ah Hasanah). Adapun Bid’ah yang dilarang dan tercela, ialah segala hal baru yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW atau yang bisa merubah Sunnah itu.” (Ihya Ulumiddin, I : 276).
07. Imam al-Hafizh Ibnu Atsir al-Jazari, pakar hadits dan bahasa, juga membagi bid’ah menjadi dua bagian; bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Dalam kitabnya, Al-Nihayah fi Gharib al Hadits wa al Atsar, beliau mengatakan :
الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ بِدْعَةُ هُدًى وَبِدْعَةُ ضَلاَلٍ فَمَا كَانَ فِيْ خِلاَفِ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ وَرَسُوْلُهُ فَهُوَ مِنْ حَيْزِ الذَّمِّ وَاْلإِنْكَارِ وَمَا كَانَ وَاقِعًا تَحْتَ عُمُوْمٍ مِمَّا نَدَبَ اللهُ إِلَيْهِ وَحَضَّ عَلَيْهِ اللهُ وَرَسُوْلُهُ فَهُوَ فِيْ حَيْزِ الْمَدْحِ وَمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثَالٌ مَوْجُوْدٌ كَنَوْعٍ مِنَ الْجُوْدِ وَالسَّخَاءِ وَفِعْلِ الْمَعْرُوْفِ فَهُوَ فِي اْلأَفْعَالِ الْمَحْمُوْدَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ فِيْ خِلاَفِ مَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِهِ
“Bid’ah ada dua macam: bid’ah huda (sesuai petunjuk agama) dan bid’ah dhalal (sesat). Bid’ah yang menyalahi perintah Allah dan Rasulullah, tergolong bid’ah tercela dan ditolak. Sedangkan bid’ah yang berada di bawah naungan keumuman perintah Allah dan sesuatu yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tergolong bid’ah terpuji. Sesuatu bid’ah (hal baru) yang belum pernah ada yang serupa sebelumnya seperti jenis kedermawanan yang baru atau kebajikan yang baru tentunya itu termasuk hal terpuji dan tidak mungkin digolongkan kepada sesuatu yang menyalahi syariat.” (An Nihayah fi Gharib al Atsar 1/267).
08. Imam Abu Syamah, guru Imam Nawawi, penolong sunah dan pembasmi bidah, dalam kitabnya tentang mengingkari bid’ah mengatakan :
(فصل) ثُمَّ اْلحَوَادِثُ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى بِدَعٍ مُسْتَحْسَنَةٍ وَإِلَى بِدَعٍ مُسْتَقْبَحَةٍ فَاْلبِدَعُ اْلحَسَنَةُ مُتَّفَقٌ عَلى جَوَازِ فِعْلِهَا وَاْلاِسْتِحْبَابِ لَها وَرَجَاءِ الثَّوَابِ لِمَنْ حَسُنَتْ نِيَّتُهُ فيهَا. الباعث على انكار البدع والحوادث ( ص : 12)
“Fasal. Kemudian hal-hal yang baru itu terbagi menjadi bid’ah-bid’ah yang baik dan bidah-bid’ah yang buruk. Adapun bid’ah yang baik maka itu disepakati kebolehan melakukannya dan kesunahannya dan mengharapkan imbalan pahala bagi orang yang baik niatnya dalam melakukannya.” (al Baits `Ala Inkaril Bida’ wal Hawadits hal 12)ز
09. Imam agung dalam madzhab Syafii, yaitu, as-Syakhawi dalam kitabnya Fathul Mughits mengatakan mengenai bidah :
وَاْلبِدْعَةُ هِيَ مَا أُحْدِثَ عَلىَ غَيْرِ مِثَالٍ مُتَقَدِّمٍ فَيَشْمُلُ اْلمَحْمُودَ وَاْلمَذْمُومَ وَلِذَا قَسَمَهَا اْلعِزُّ بْنُ عَبْدِ السَّلاَمِ كَمَا سَأُشِيرُ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ اللهُ عِنْدَ التَّسْمِيعِ بِقِرَاءَةِ اللَّحَّانِ اِلَى اْلأَحْكَامِ اْلخَمْسَةِ وَهُوَ وَاضِحٌ وَلكِنَّهَا خُصَّتْ شَرْعًا بِاْلمَذْمُومِ مِمَّا هُوَ خِلاَفُ الْمَعْرُوفِ عَنِ النَّبِي صلى الله عليه وآله وسلم
“Bid’ah itu adalah sesuatu yang dibuat tanpa ada contoh terdahulu sebelumnya. Ia mencakup yang baik dan yang tercela. Oleh sebab itu al Izz bin Abdis Salam membaginya, sebagaimana akan aku isyaratkan insya Allah ketika membahas masalah memperdengarkan qiroah yang lahn, kepada lima hukum. Itu jelas, akan tetapi bid’ah dikhususkan secara syariat kepada yang tercela dari apa yang bertentangan dengan yang makruf dari Nabi saw.” (Fathul Mughits juz 1/326-327).
10. Imam Suyuthi dalam Syarah Muwaththo mengatakan :
تُطْلَقُ اْلبِدْعَةُ فِي الشَّرْعِ عَلىَ مَا يُقَابِلُ السُّنَّةَ أَيْ مَا لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِهِ صلى الله عليه وآله وسلم ثُمَّ تَنْقَسِمُ إِلىَ اْلأَحْكَامِ اْلخَمْسَةِ
“Dalam syariat bid’ah digunakan untuk apa yang menjadi lawan dari sunnah, maksudnya sesuatu yang tidak ada di zaman Rasululllah saw kemudian bid’ah terbagi menjadi lima hukum.” (Syarah Muwatho juz 1/105)
11. Imam Ibnu Hajar al Haitami dalam al Fatawa al Haditsiyah mengatakan :
وَقَوْلُ السَّائِلِ : هَلِ اْلاِجْتِمَاعُ لِلْبِدَعِ اْلمُبَاحَةِ جَاِئزٌ ؟ جَوَابُهُ :نَعَمْ هُوَ جَائِزٌ ، قَالَ الْعِزُّ بْنُ عَبْدِ السَّلاَمِ رَحِمَهُ اللهُ : اْلبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَهْدِ النَّبِيّ صلى الله عليه وآله وسلم وَتَنْقَسِمُ إِلَى خَمْسَةِ أَحْكَامٍ …
Adapun pertanyaan penanya, “Apakah berkumpul untuk melakukan bidah-bid’ah yang boleh itu diperbolehkan? Jawabannya: Benar itu diperbolehkan. Berkata al Izz bin Abdis salam ra: Bid’ah itu adalah melakukan apa yang tidak ada di masa Nabi saw dan ia terbagi menjadi lima hukum… (Al Fatawa al Haditsiyah juz 1/150).
12. Dalam faidhul Qodir, Imam al Munawi mengatakan :
الْبِدْعَةُ خَمْسَةُ أَنْوَاعٍ : مُحَرَّمَةٌ وَوَاجِبَةٌ وَمَنْدُوبَةٌ وَمَكْرُوهَةٌ وَمُبَاحَةٌ
“Bid’ah ada lima macam: Haram, wajib, sunah, makruh dan mubah.” (Faidhul Qodir juz 1/440).
13. Imam ad Dimyati, ahli fiqih madzhab Syafii dalam kitab monumentalnya I`anat at Thalibin menyatakan :
وَالْحاَصِلُ أَنَّ اْلبِدَعَ اْلحَسَنَةَ مُتَّفَقٌ عَلَى نَدْبِهَا، وَهِيَ مَا وَافَقَ شَيْئًا مِمَّا مَرَّ، وَلَمْ يَلْزَمْ مِنْ فِعْلِهِ مَحْذُورٌ شَرْعِيٌّ. وَمِنْهَا مَا هُوَ فَرْضُ كِفَايَةٍ ، كَتَصْنِيفِ اْلعُلُومِ.
“Kesimpulannya bahwa bidah-bid’ah hasanah disepakati kesunahannya. Bid’ah hasanah adalah apa yang sesuai dengan dalil yang telah disebutkan. Dan perbuatannya tidak mengakibatkan hal yang terlarang secara syariat. Sebagian dari bid’ah ada yang hukumnya fardhu kifayah seperti penulisan ilmu-ilmu.” ( Hasyiyah i`anatith tholibin juz 1/271)