Telah banyak disebutkan dalam literatur Syi’ah Imamiyah (Rofidloh), baik yang Isma’iliyahatau yang Ja’fariyah. Seperti al-Kafi lil Kulaini, al-Ihtijaj lit Tibrisi, al-Istibhar lit Thusi, Kasyful Ghummah lil Ardabulli, al-Amali libni Babawaih dan lain-lain, bahwa pokok-pokok ajaran Syi’ah Imamiyah dapat disimpulkan diantaranya sebagai berikut,
a. Tentang al-Qur’an
Al-Qur’an yang ada sekarang ini (Mushaf Utsmani) menurut mereka banyak perubahan dan kekurangannya, dan mereka menuduh Sayyidina Utsman yang merubah dan menguranginya, diantaranya adalah tidak ada Surat Wilayah atau Surat Wishoyah. Padahal merekalah sendiri yang menambah dan merubah al-Qur’an. Mereka menyebut Qur’an Mereka dengan sebutan Mushaf Fatimah, yang sampai sekarang ini masih ditangan al-Qo’im, yaitu imam ketujuh (menurut syi’ah Sab’iyyah) dan imam kedua belas (menurut syi’ah Itsna Asyariyah).
Kepercayaan Syi’ah bahwa al-Qur’an telah banyak perubahan dan kekurangannya, sama halnya mereka tidak mempercayai jaminan Allah SWT terhadap al-Qur’an, dan ini berarti mereka tidak percaya akan kekuasaan Allah. Dalam Surat al-Hjr ayat 9 Allah SWT berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sungguh Kami (Allah)-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami juga-lah yang memeliharanya”.
Dalam Surat yang lain, yaitu Surat Fushshilat ayat 42, Allah pun berfirman,
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
“Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang maha bijaksana lagi maha terpuji”.
b. Wishayah
Wishayah dalam doktrin Syi’ah bukanlah pencalonan atau pemilihan namun “pengangkatan” yang dilakukan oleh Nabi. Mereka meyakini bahwa nabi Muhammad SAW telah mewasiatkan bahwa pengganti beliau adalah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa pengangkatan ini berdasarkan pada hadits yang terkenal dengan hadits Ghadir Khum, yaitu, “Man Kuntu Maulahu Fa ‘Aliyyun Maulaahu”. Hadits ini sangat populer di kalangan Syi’ah karena menurut mereka hadits ini adalah sebagai bukti dan dalil bahwa Sayyidina Ali ditunjuk langsung oleh Nabi sebagai khalifah sesudahnya.
Klaim golongan Syi’a seperti ini adalah klaim yang tidak effair dan mudah menjerumuskan orang awam. Oleh karena itu perlu diluruskan apa dan bagaimana maksud hadits Ghadir Khum tersebut. Yang jelas hadits ini jauh panggang dari api jikalau di artikan sebagai penunjukan langsung dari Rasulullah SAW kepada Sayyidina Ali sebagai kholifah.
Pada tahun 10 H, Rasulullah SAW beserta para sahabat berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan Ibadah Haji (Haji Wada’). Bersamaan dengan itu, rombongan kaum muslimin yang dipimpin oleh Sayyidina Ali bin Abi Tholib yang di kirim oleh Rasulullah SAW ke Yaman, telah kembali dan mereka langsung menuju ke kota Mekkah untuk bergabung dengan Rombongan Rasulullah.
Begitu Rombongan sudah mendekati tempat dimana Rasulullah berada, Sayyidina Ali segera memasrahkan rombongannya kepada Buraidah, sedangkan beliau pergi menemui dan melapor kepada Rasulullah. Sepeninggal Sayyidina Ali, Buraidah langsung membagi-bagikan pakaian hasil rampasan perang yang masih tersimpan ditempatnya, tujuannya agar rombongan kelihatan rapi saat masuk kota dan bertemu dengan yang lain.
Namun begitu Sayyidina Ali kembali dari menemui Rasulullah dan menghampiri rombongannya, beliau terkejut dan langsung marah-marah, sembari perintah agar pakaian-pakaian yang baru saja dipakai oleh mereka itu dilepas dan di kembalikan ketempatnya. Karena menurutnya yang berhak membagi-bagi hanyalah Rasulullah SAW. Namun tindakan Sayyidina Ali tersebut membuat sebagian anak buahnya kecewa.
Ketika rombongan sampai di tempat Rasulullah SAW, Buraidah segera menghadap Rasulullah dan melaporkan kejadian yang baru saja mereka alami, sambil sesekali menjelek-jelekan Sayyidina Ali. Mendengar laporan dari Buraidah, muka Rasulullah menjadi berubah, karena beliau tahu bahwa tindakan Sayyidina Ali tersebut benar. Kemudian Rasulullah bersabda “Wahai Buraidah! Apakah Aku tidak lebih utama (untuk dicintai dan diikuti) oleh orang-orang mu’min daripada diri mereka sendiri?”. Buraidah Menjawab, “Benar Ya Rasulullah”. Lantas Rasulullah kembali bersabda,
مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِيٌّ مَوْلاَهُ (رواه الترمذى والحكيم)
“Barang siapa menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka Ali-pun juga pemimpinnya”. (HR. Turmuzhi dan al-Hakim).
Selanjutnya setelah Rasulullah dan rombongan selesai dari mengerjakan Ibadah Haji, pada saat sampai di tempat yang bernama Ghadir Khum, Rasulullah SAW berkhotbah yang diantara isinya yaitu Rasulullah mengulangi hadits tersebut (Man Kuntu Maulahu Fa ‘Aliyyun Maulaahu). Hal ini karena tidak hanya Sayyidina Ali dan Buraidah saja yang berselisih pendapat, tetapi juga ada sebagian rombongan yang masih tidak puas dan kecewa terhadap tindakan Sayyidina Ali pada saat itu. Oleh karenanya Rasulullah SAW mengulangi lagi sabdanya kepada Buraidah didepan khalayak ramai, agar permasalahan tersebut tidak berlarut-larut dan dapat segera selesai.
Dari alur cerita hadits Ghodir Khum diatas, dapat dipahami bahwa hadits tersebut tidak ada hubungannya dengan wasiat pengangkatan Rasulullah terhadap Sayyidina Ali sebagai kholifah, akan tetapi hanya sebagai penekanan atau pemantapan atas kepemimpinan Sayyidina Ali terhadap rombongan yang di utus Rasulullah ke Yaman.
Demikian ini karena jika hadits Ghodir Khum diatas di pahami seperti kepahaman orang-orang Syi’ah, maka konsekwensinya, tidak hanya Abu Bakar, Umar dan Utsman saja yang di cap sebagai pembangkang terhadap wasiat dan perintah Rasulullah SAW, tetapi Sayyidina Ali-pun juga seperti itu, karena mereka berempat sama-sama membangkang alias tidak menuruti wasiat dan perintah Rasulullah SAW. Wa Allahu A’lam. (Bidayatul Hidayah Libni Katsir)
Demikian ini karena jika hadits Ghodir Khum diatas di pahami seperti kepahaman orang-orang Syi’ah, maka konsekwensinya, tidak hanya Abu Bakar, Umar dan Utsman saja yang di cap sebagai pembangkang terhadap wasiat dan perintah Rasulullah SAW, tetapi Sayyidina Ali-pun juga seperti itu, karena mereka berempat sama-sama membangkang alias tidak menuruti wasiat dan perintah Rasulullah SAW. Wa Allahu A’lam. (Bidayatul Hidayah Libni Katsir)
c. Imamah
Imamah merupakan kelanjutan dari wishayah, karena untuk melanjutkan tugas kenabian setelah Nabi wafat, maka dibutuhkan seorang Imam. Sesuai dengan prinsip keadilan Tuhan, maka Allah wajib menetapkan para imam yang akan bertugas sebagai pembimbing manusia, seperti halnya seorang Nabi. Imamah menurut kaum Syi’ah adalah salah satu dari rukun-rukun agama.
Imam itu harus Ishmah, yaitu terpelihara dari segala dosa dan salah, meskipun ia mampu melakukan itu, imam juga mengetahui segala yang di langit dan di bumi, serta semua yang ada di surga dan di neraka. Imam-pun mengetahui apa-apa yang telah, sedang dan akan terjadi (al-Kafi 1/261). Hal ini terkait dengan fungsinya sebagai pengendali (quthb) manusia.
Jelasnya, Imam di mata orang-orang Syi’ah kedudukannya adalah di atas malaikat muqorrobin dan para rasul (bahkan hamper setara dengan Tuhan. red). (al-Hukumah al-Islamiyah 52). Bahkan dalam Kasyful Asror 155, Khumainimenyalahkan Nabi Muhammad SAW dengan perkataannya, “ Dan Jelas, sekiranya Nabi benar-benar mau menyampaikan perintah mengenai imamah, sesuai apa yang Allah perintahkan dan mengupayahkan hal itu, tentu tidak akan timbul perselisihan, pertengkaran dan peperangan di Negara-negara Islam, dan tidak akan timbul perselisihan-perselisihan dalam pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya”.
Orang-orang Syi’ah juga mempercayai bahwa imam mereka yang masih bersembunyi atau yang telah mati akan dihidupkan kembali oleh Allah di akhir zaman (Roj’ah). Imam itulah yang disebut sebagai al-Qo’im.
Ajaran ini terkait dengan paham bahwa imam ketujuh (menurut syi’ah Sab’iyyah) atau kedua belas (menurut syi’ah Itsna Asyariyah) sedang bersembunyi dan akan kembali (raj’ah) di akhir zaman nanti untuk memimpin, mengatur dan memperbaiki dunia serta di nilai paling sukses daripada nabi Muhammad SAW dan nabi-nabi lain.
Selain itu, al-Qo’im kembali juga untuk membangkitkan Abu Bakar, Umardan Utsman untuk di adili karena telah merampas jabatan Khalifah dari pemiliknya, yaitu Sayyidina Ali bin Abi Tholib.
Seorang ulama Syiah yang sudah sangat terkenal, yaitu Al-Mufid, telah menulis di dalam kitabnya, Al-Irsyad, “Apabila Al-Qaim bangkit maka para pembunuh Sayidina Al-Husain pun akan dibangkitkan. Mereka akan dihidupkan seperti semula lalu dibunuh dengan dihukum pancung di khalayak ramai, bahkan bapak-bapak pembunuh itu pun akan turut dibangkitkan dan dihukum”.
Karena keterlaluannya mereka mengenahi imamah, kedustaan mereka terhadap Sayyidina Ali juga anak-anaknya, kepengecutan dan kelicikan mereka-lah sehingga mereka menuai banyak kecaman, cacian dan kebencian dari orang-orang yang mereka anggap sebagai imam-imam mereka yang ma’shum. Diantaranya adalah,
Kata Sayyidina Ali terhadap orang-orang Syi’ah, “Janjimu tidak dapat dipegang, persahabatanmu tidak dapat di andalkan, Sungguh kalian inilah sejelek-jelek rumput kering untuk menyulut api”. (Nahjul Balaghoh 183)
Kata Sayyidina Hasan, “Aku kenal orang-orang kuffah (Syi’ah), telah aku kutuk mereka. Dan tidak baik bagiku bersama para perusak diantara mereka, Sebab mereka tidak bisa dipegang janjinya, tidak ada jaminan (kebenaran) bagi perkataan dan perbuatan mereka. Mereka adalah orang-orang yang selalu berselang sengketa. Katanya, “Hati mereka selalu bersama kami”. Tetapi pedang-pedang mereka selalu dihadapkan kepada kami..... (Kitabul Ihtijaj Karya at-Thobarsy)
Kata Sayyidina Husain, saat orang-orang Syi’ah berkumpul dan mengangkat Muslim bin ‘Aqil sebagai penggantinya. “Binasalah kamu wahai golongan, sengsara dan celakalah kamu, kamu berteriak meminta pertolongan kami, dengan menangis dan merengek-rengek, lalu cepat-cepat ku tolong kamu, setelah itu kamu hadapkan mata pedang kamu kepada kami dan kamu nyalakan api untuk membakar kami....... (Kitabul Ihtijaj Karya at-Thobarsy)
Diriwayatkan oleh al-Kulainy dari Abul Hasan Musa, “Jika aku selidiki Syi’ahku, maka aku dapati mereka hanyalah berpura-pura, dan bila aku uji mereka, aku dapati mereka semua adalah orang-orang yang murtad. (Kitabur Roudloh lil Kulainy 107)
Kata Musa al-Kadzim, “Tidak seorangpun dari mereka (gol. Syi’ah) yang mau menerima nasihatku dan yang mentaati perintahku selain Abdullah bin Ya’fur”. (Majalisul Mu’minin, Majlis Kelima 144).
Demikianlah sedikit gambaran dari hubungan mereka dengan orang-orang yang mereka anggap sebagai imam-imam yang ma’shum. Mereka memang selalu mengaku sebagai pecinta ahlul bait, tetapi pengakuan itu hanyalah kedustaan (taqiyyah) semata. Bahkan mereka sering berkhianat dan berdusta atas nama ahlul bait dan imam-imam mereka. Inilah sebabnya Sayyidina Ali dan anak-anak keturunannya membenci dan mengutuk mereka. Jelasnya, orang-orang yang mereka anggap sebagai imam-imam mereka adalah orang-orang yang membenci mereka dan jauh dari ajaran dan aqidah mereka.
d. Taqiyah
Taqiyah yaitu menyembunyikan keyakinan sebenarnya dengan mengatakan keyakinan yang sesuai dengan keyakinan resmi yang ada pada saat itu, demi menyelamatkan diri. Jelasnya Taqiyah adalah berdusta demi keselamatan. Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih al-Qummy, ahli hadits Syi’ah pernah ditanya tentang firman Allah “Inna Akromakum ‘Indaallohi Atqokum”, Ia menjawab “Orang yang paling mulya disisi Allah adalah orang yang paling banyak melakukan taqiyyah”, yaitu banyak berbohong demi membela Aqidah Syi’iyyah. Na’uzhu billaahi min zhalik.
Aqidah dan kepercayaan tentang kebenaran dan anjuran berdusta (taqiyyah) ini, menurut akal sehat jelas sangat lucu dan aneh. Di dalam al-Qur’an juga sudah jelas-jelas dilarang, di antaranya adalah dalam surat at-Taubah ayat 119 “Takutlah kamu akan Allah dan hendaklah kamu bersama-sama orang yang benar”. Dalam surat al-Ahzab ayat 70 “Wahai orang-orang yang beriman takutlah kamu akan Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar”.
e. Baro’ah
Baro’ah artinya terbebas atau lepas sama sekali dengan Khulafa’ur Rosyidin demi kesempurnaan iman. Ya’ni pernyataan anti Abu Bakar, Umar dan Utsman, harus ditanamkan betul dalam hati setiap muslim sebagai salah satu syarat untuk menyempurnakan iman.
Kaum Syi’ah menganggap bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan orang-orang yang membai’at mereka sebagai kholifah, serta Istri-istri Nabi SAW terutama A’isyah dan Hafshoh adalah orang-orang kafir. Bahkan kaum Syi’ah menyebut Abu Bakar dan Umar adalah Thoghut dan Shonamu Quraisyin (berhala orang-orang Quraisy). Sementara menyebut A’isyah dan Hafshoh adalah Jibt (berhala) yang semuanya harus dikutuk dan di la’nat.
Ironinya lagi, mereka mengangggap pembunuh Sayyidina Umar bin Khotthob, yaitu Abu Lu’lu’ah adalah pahlawan syahid yang di jamin masuk surga. Keyakinan seperti ini jelas telah melenceng dari ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda,
لاَتَسُبُّوْا أَصْحَابيِ, فَوَالَّذِىْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ (رواه البخاري ومسلم)
“ Janganlah kalian mencaci maki sahabat-sahabatku. Demi zhat yang menguasai jiwaku, andaikan salah satu dari kalian bersedekah emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan bisa membandingi sedekah mereka satu mud atau setengahnya mud”. (HR. Bukhori Muslim).
Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda,
إِذَا رَأَيْتٌمُ الَّذِيْنَ يَسُبُّوْنَ أَصْحَابِى فَقُوْلُوْا لَعْنَةُ اللهِ عَلىَ شَرِّكُمْ (رواه الترمذى)
“Bila kamu melihat orang –orang mencaci sahabat-sahabatku, maka katakanlah, “Semoga la’nat Allah atas kejahatanmu”. (HR. Turmuzhi)
f. Nikah Mut’ah
Mereka menghalalkan nikah Mut’ah atau Kawin Kontrak, yaitu pernikahan yang di batasi dengan jarak waktu tertentu dan dengan upah tertentu pula. Padahal menurut imam ke-enam mereka, yaitu Ja’far Shodiq bin Muhammad Baqir ketika di tanya tentang nikah mut’ah, beliau menjawab “Nikah Mut’ah itu Zina”.
Bahkan Rasulullah SAW sendiri bersabda tentang nikah mut’ah yang artinya, “Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban).
Sayyidina Ali Juga pernah berkata. “Bahwa Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar” (Hadis ini dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim).