Ada seorang yang sangat kaya, murah hati dan berpangkat tinggi tinggal di sebuah kota. Ia selalu bersedekah kepada orang-orang yang sakit, para janda, orang-orang fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan lainnya, baik itu berupa barang, uang atau berupa makanan. Asal orang itu tidak memita-minta dan setiap dikasih sedekah orang itu mau diam saja, tidak bilang kepada siapa-siapa. Kalau dia bercerita kepada orang lain maka hari berikutnya dia tidak akan mendapatkan bagian sedekah lagi.
Tidak semua orang bisa berdiam diri. Pada suatu hari salah seorang diantara para penduduk yang merasa membutuhkan sedekah itu tidak bisa menahan diri, dia mengajukan permohonan, tentu saja dengan cara yang sebaik-baiknya. Namun Ia tidak diberi apapun oleh Si-Pemurah, sebab Ia melanggar prosedur pemberian dari si-Pemurah itu.
Karena tidak dikasih sedekah pada hari itu, maka pada hari berikutnya, dia pura-pura patah anggota badannya. Tetapi Si-Pemurah mengenalinya, dan ia pun tidak mendapatkan apa-apa. Hari berikutnya lagi ia kembali menyamar, menutupi wajahnya, di antara golongan masyarakat yang berbeda-berbeda kekurangannya. Lagi-lagi ia dikenali, dan bahkan diusir tanpa hasil.
Berulang kali ia mencoba, bahkan pernah menyamar sebagai wanita, namun semua kepura-puraan dan penyamarannya itu selalu diketahui oleh Si-Pemurah itu. Sehingga pada akhirnya orang itu pura-pura mati dan minta dibungkus kain kafan oleh temannya. Ia berkata kepada temannya yang ia suruh membungkusnya itu; "Kalau Si-Pemurah itu lewat, dan melihatku sudah menjadi mayat, mungkin Ia akan melemparkan sekantong emas ke sisi tubuhku untuk ongkos penguburanku, dan kau nanti kuberi bagian" .
Rupanya si-Pemurah itu lewat juga di hadapan si-Sial yang telah terbungkus kain kafan itu. Namun perkiraan dan prediksinya itu meleset, bukan Ia yang di kasih sekantung emas akan tetapi temannya yang duduk disebelahnya itu yang mendapatkannya.
“Ini sekantung emas untukmu, gunakan untuk modal dagang agar istri dan anak-anakmu di rumah bisa makan dan hidup layak”. Kata si-Pemurah itu sambil mengulurkan sekantung emas kepada teman si-Sial itu.
kisah ini menunjukkan, bahwa semua yang sampai kepada kita, baik itu berupa ilmu, kekayaan, keberkahan, kemanfaatan, kemadlorotan dan atau bahkan kita sendiri adalah atas qodlo’ (ketentuan) dan qodar (kekuasaan) sang-kuasa. Kita yang lahir dan hidup di muka bumi ini, sebelumnya tidak pernah menginginkan atau meminta kepada sang-kuasa agar diri kita terlahir. “Allah telah menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu perbuat”. (QS. As-Shoffat ; 96).
Kalau dalam benak kita terlintas pertanyaan, apakah manusia tanpa berusaha melakukan apapun ia akan mendapat jatahnya masing-masing atau ia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, dan mewujudkan usahanya?
Menurut Al-Asy`ari, perbuatan manusia tidak diwujudkan oleh manusia itu sendiri, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Namun manusia memiliki andil dalam memilih menentukan perbuatannya, (itulah fungsi akal bagi manusia). Makanya manusia akan dimintai tanggungjawab atas perbuatan-perbuatan mereka, “in khoiron fa khoirun wa in syarron fa syarrun”.
Begitupun dalam meraih sebuah keinginan atau cita-cita. Manusia berperan dalam memilih menentukan keinginannya, ketentuan finalnya ada pada ketentuan dan kekuasaan Allah. Manusia hanya berkehendak, tetapi Tuhanlah yang menentukan. Allah adalah pencipta yang mampu menciptakan segala sesuatu, termasuk keinginan manusia itu sendiri. Artinya, meskipun manusia mempunyai usaha tapi tetap Tuhanlah yang berkuasa menentukan dan memberikan dan atau mewujudkan usahanya tersebut.
Intine, kabeh iku wes ono jatahe teko gusti Alloh, karena kita tidak mengetahui jatah kita masing-masing, maka kita harus mengusahakan itu, ayo podo di jarah, mboh iku ilmu, kekayaan, pangkat, manfaat, berkah dan lain-lain. Wa Allohu A’lam.
Tag :
Hujjah ASWAJA