Pada saat waba virus corona di wilayah-wilayah yang masuk kategori aman, mereka menyelenggarakan shalat Jumat atau shalat jamaah, namun seringkali ditemukan shafnya renggang dengan jarak minimal 1 meter, demikian ini dilakukan untuk menekan penularan virus. Jamaah juga tidak was-was atau khawatir menular, sehingga tidak mengganggu kekhusyuan. Pertanyaannya apakah hal tersebut tidak mempengaruhi fadlilah jamaah?.
Dalam aturan shalat berjamaah, shaf makmum harusnya lurus dan rapat serta memprioritaskan barisan depan, jika ingin mendapatkan fadlilah berjamaah. Namun dalam keadaan tertentu, seperti mencium bahu tidak enak, karena udzur, tidak masuk pada shaf yang renggang di depannya itu diperbolehkan atau apabila merapat mengisi kekosongan shof itu justru malah membuat payah orang lain.
Referensi:
وَكُرِهَ لِمَأْمُوْمٍ انْفِرَادٌ عَنِ الصَّفِّ الَذِي مِنْ جِنْسِهِ إِنْ وَجَدَ فِيْهٍ سعَةً بَلْ يَدْخُلُهُ وَشُرُوْعٌ فِي صَفٍّ قَبْلَ إِتْمَامِ مَا قَبْلَهُ مِنَ الصَّفِّ (قوله: إن وجد فيه) أي الصَّفِّ سعَةً، بِأَنْ كَانَ لَوْ دَخَلَ فِي الصَّفِّ وَسِعَهُ، مِنْ غَيْرِ إِلْحَاقِ مَشَقَّةٍ لِغَيْرِهِ،
“Dan dimakruhkan bagi makmum menyendiri dari barisan yang masih longgar, hendaknya ia mengisinya dan makruh membuat barisan sebelum barisan sebelumnya sempurna. {Qouluhu : apabila di dalam barisan masih longgar) Seandainya ia masuk mengisi kelonggaran tersebut maka muat dan tidak membuat payah orang lain.” (I’anah at-Thalibin, II/30).
إنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ الْحَرِّ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَلَا كَرَاهَةَ وَلَا تَقْصِيرَ (الحر) أي ونحو المطر قوله: (فلا كراهة إلخ) أي فلا تفوتهم الفضيلة
“Jika para jamaah mundur karena uzur, seperti karena saat panas di Masjidil Haram, maka tidak makruh dan tidak dianggap ceroboh. Sama halnya seperti karena hujan atau hal-hal semacamnya. Ketidakmakruhan ini memastikan tidak hilangnya keutamaan shalat jamaah,” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 8, hal. 157).
وَسُئِلَ رضي اللَّهُ عنه عَمَّنْ صلى في الصَّفِّ الْأَوَّلِ ولم يُمْكِنْهُ التَّجَافِي في الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ أو حَصَلَ رِيحٌ كَرِيهٌ أو رُؤْيَةُ من يَكْرَهُهُ أو نَظَرُ ما يُلْهِيه فَهَلْ يَكُونُ الصَّفُّ الثَّانِي أو غَيْرُهُ إذَا خَلَا عن ذلك أَفْضَلُ أو لَا ؟ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ مُقْتَضَى قَوْلِهِمْ الْمُحَافَظَةُ على الْفَضِيلَةِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِذَاتِ الْعِبَادَةِ أَوْلَى من الْمُحَافَظَةِ على الْفَضِيلَةِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِمَكَانِهَا أَنَّ الصَّفَّ الثَّانِيَ أو غَيْرَهُ إذَا خَلَا عَمَّا ذُكِرَ في السُّؤَالِ أو نَحْوِهِ يَكُونُ أَفْضَلَ من الصَّفِّ الْأَوَّلِ وهو ظَاهِرٌ حَيْثُ حَصَلَ له من نَحْوِ الزَّحْمَةِ وَرُؤْيَةِ ما ذَكَرَ ما يَسْلُبُ خُشُوعَهُ أو يُنْقِصُهُ
“Ibnu Hajar ditanya tentang seseorang yang melaksanakan shalat di shaf awal, ia merasa tidak leluasa saat ruku’ dan sujud, atau ia mencium bau yang tidak sedap, atau ia melihat orang yang ia benci, atau ia melihat benda yang dapat mengganggu (pikirannya). Apakah dalam keadaan demikian menempati shaf kedua atau shaf yang lain agar tidak ada hal-hal seperti di atas dianggap lebih baik atau tidak?
Ibnu Hajar menjawab, Berdasarkan tuntutan redaksi para ulama yang menjelaskan bahwa, menjaga keutamaan yang berhubungan dengan esensial ibadah lebih utama daripada menjaga keutamaan yang berhubungan dengan tempat ibadah. Berarti shaf kedua atau shaf yang lain, ketika tidak ada hal-hal yang disebutkan dalam soal, maka dinilai lebih utama daripada menempati shaf awal. Hal ini sangatlah jelas selama hal-hal di atas akan menyebabkan hilangnya khusyu’ atau mengurangi kekhusyu’an dalam shalat (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 1, hal. 181)