Mondok di Pondok Pesantren, tidak semua orang, bahkan hanya sebagian yang sangat kecil saja dari manusia-manusia pilihan Allah yang diberi kesempatan oleh Allah untuk merasakan itu, “man yuridillaahu bihi khoiron yufaqqih-hu fid diin”. Mudah-mudahan pembaca dan atau anak-anak pembaca termasuk sebagian kecil dari orang-orang yang pernah merasakan itu.
Pondok Pesantren sepintas lalu memang seperti kurang manusiawi atau adiknya romusa. Seabrek kegiatan harus ia lakukan, seperti belajar di sekolah, mengaji, menghafal, diskusi, belajar mandiri, tugas madrasah, aktifitas di asrama, di lapangan, di pramuka, di sanggar seni, di organisasi pelajar, sampai kegiatan di dalam unit usaha pesantren, bahkan dalam menggerakan roda unit usaha ini, santri di suruh lillahi taala, tanpa diberi upah sepeser pun (enake omong). Mereka harus membagi waktu belajar dan aktivitas pembelajaran lainnya dengan kegiatan-kegiatan di unit usaha tersebut.
Selain mengelola unit-unit usaha, santri juga mendapatkan tugas-tugas berat lainnya. Seperti dibagian keamanan, piket malam, piket siang yang ditunjuk secara bergiliran. Santri-santri (sebutan anak-anak yang berada di Pondok Pesantren) juga harus mengikuti kerja bakti, bersih-bersih lingkungan pesantren, ngecor, dan lain sebagainya, juga untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, seperti mencuci baju, antri makan, antri mandi, berak dan lain-lain.
Akan tetapi itu semua bukanlah percuma tanpa makna, karena tumpukan kegiatan yang dilakukannya di pesantren itu terkandug pengajaran dan pendidikan sosialisasi, sportifitas, leadership, ketekunan, kegesitan, kecerdikan, tanggungjawab sampai kewirausahaan. Kegiatan dan tugas-tugas yang harus mereka lakukan di pesantren setiap hari itu memang sudah menjadi paket pendidikan yang diberikan pesantren bagi santri-santrinya. Tanpa memandang latar belakang dan statusnya, asal dia santri maka harus patuh dengan peraturan-peraturan yang ada di pesantren.
Ketika kurikulum Pendidikan sekarang ini memasukkan unsur Pendidikan karakter, sebenarnya Pondok Pesantren sudah menerapkan itu sejak awal kemunculannya yaitu sekitar abad 17, di pesantren setiap detik tidak akan tersia dan merupakan proses dari pendidikan.
Penugasan santri menangani syahriyah, memimpin tahlilan dan yasinan, menjadi lurah pondok, atau kegiatan-kegiatan di unit usaha pesantren, seperti di kantin, toko baju, toko buku dan kitab-kitab, di ndalem-ndalem kiyai pengasuhnya dan lain-lain tersebut adalah bentuk lain dari pendidikan bagi santri. Di dalamnya ada pendidikan sosialisasi, kewirausahaan, mental, kejujuran, kerja keras, bekerja sama, gotong royong, kesabaran, ahlak, menghilangkan sikap feodal, egois, tidak menang sendiri dan lain-lain. Jadi tidak hanya mandek dalam kemampuan kognitifnya saja, melainkan sisi avaktif dan psikomotoriknya juga di pacu dalam pesantren. Ayo Mondok ….!