Imam Nawawi dalam kitabnya Al-adzkar mengatakan, Bahwa talqinul mayyit ba’dad dafni (talqin setelah mayat di kuburkan) oleh mayoritas ulama’ Syafiiyyah dihukumi istihbab (sunnah). Diantara mereka adalah, Qodli Husain didalam Ta’liq-nya, Abu Sa’ad Almutawalli didalam kitab Titimmah-nya, Assyaikh Al-imam Azzahid Abul Fath Nashr bin Ibrahim bin Nashr Almuqoddasi, Imam Abul Qosim Arrafi’I, Imam Abu Amr bin Sholah dan ulama’-ulama’ Syafi’iyyah lain dari Khurosyan.
Talqin mayit pada hakekatnya adalah komunikasi si-penalqin kepada dirinya sendiri, si-Mayat, para pelayat, dan Alloh SWT. Orang yang mentalqin selain dia ngomongi dirinya sendiri, juga mengingatkan para pelayat agar kematian yang tampak di hadapannya ini bisa menjadi ibroh, bisa menjadi mauidzoh, pitutur (kafaa bil mauti waa’idzon), artinya setiap ada kematian di situlah ada sebuah pengingat bahwa siapapun orangnya akan mengalami kematian lalu meninggalkan dunia seisinya ini.
Si-Penalqin
dengan talqinnya juga mengingatkan kepada si-mayat tentang pertanyaan munkar
dan nakir. Akan ada pertanyaan kubur yang harus ia jawab, oleh karena itu di
kasih bocoran dengan harapan agar si-mayat mampu melewati ujian itu. Tidak
berhenti sampai disitu, si-Penalqin juga langsung berbicara kepada Alloh
memohon agar si-Mayat bisa melalui ujian dari-Nya di dalam kubur dan
diselamatkan dari siksa kubur.
Tidak ada komentar: