Bulan Dzulqo’dah adalah bulan kesebelas dalam penanggalan Hijriyah, sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa bulan ini masuk dalam kategori asyhurul hurum. Dalam penyebutan bulan Jawa, dikenal dengan bulan selo dan bulan Apit atau Longkang.
Pada umumnya, masyarakat Jawa menggunakan bulan Selo untuk melakukan acara bersih desa, yaitu memberikan penghormatan kepada yang mbahurekso dan memberikan berkah melimpah pada desa tersebut. Namun pada saat masuknya Islam ke tanah jawa, tradisi itu mengalami pergeseran esensial di dalamnya, meskipun beberapa daerah masih mempertahankan tradisi itu apa adanya.
Dahulu, bersih desa dimaksudkan untuk memberikan sesaji dan melakukan ritual pemujaan pada sosok yang mbahurekso di tempat tersebut, namun saat Islam datang, tradisi itu dilakukan sebagai upacara pemujaan dan rasa syukur kepada Allah SWT, dengan cara berdzikir, bersholawat dan bersedekah. Untuk itu tradisi Bersih Desa ini juga dekenal dengan Sedekah Bumi.
Kemudian kenapa dalam penanggalan jawa memakai penyebutan selo, Apit atau Longkang? Kalender Jawa merupakan adaptasi antara budaya Jawa dan budaya Islam, sehingga perlu ditelusuri makna kata selo dalam bahasa alinya.
Sultan Agung mulai memberlakukan penanggalan Jawa pada tahun 1547 Saka (1035 Hijriah atau tahun 1625 Masehi). Bulan Selo dalam penanggalan Islam disebut bulan Dzulqo’dah. Dalam bahasa Arab, kata qo’dah berasal dari kata qo’ada yang berarti duduk. Makna kata qo’adah ini dikaitkan dengan perintah untuk duduk bersila dan memperbanyak dzikir. Dimungkinkan ada penyalah tangkapan makna qo’adah dari silo menjadi selo.
Dalam sistem kalender Islam, Dzulqo’dah merupakan salah satu dari empat bulan yang disucikan di mana umat muslim tidak diperbolehkan perang pada bulan ini (QS. At-Taubah:36). Larangan akan dilakukan perang inilah yang mungkin digeneralisasi sebagai larangan untuk melakukan hajat baik pada bulan ini. Sebagian keterangan para ulama juga menghubungkan kemuliaan bulan Selo (Dzulqo’dah) dengan bulan untuk menapaktilasi semangat nabi Musa (QS Al A’raf:142), sehingga pada bulan ini umat muslim diperintahkan untuk merenung dan duduk bersila sembari membaca dzikir dan memanjatkan doa.
Bulan Selo dikenal pula dengan istilah Longkang. Kata longkang dalam bahasa Jawa diartikan sebagai gang sempit di antara dua rumah (ter-apit). Dahulu, masyarakat Jawa memegang teguh prinsip bahwa air hujan dari genting rumahnya harus jatuh di tanahnya sendiri, sehingga orang Jawa akan memberikan tempat kosong pada keempat sisi tanah yang dibangun rumah. Prinsip ini memberikan dampak nyata bahwa antara satu rumah dengan rumah tetangga terdekat tidak saling berhimpitan. Tempat terbuka antara kedua rumah inilah yang disebut sebagai longkang.
Jika dikaitkan dengan penanggalan Jawa, bulan Longkang merupakan bulan yang ter-apit antara dua hari raya. Bulan kesepuluh dalah penanggalan Jawa adalah Sawal (Syawal) yang di dalamnya terdapat hari raya Idul Fitri, sedangkan bulan kedua belas adalah bulan Besar (Dzulhijjah) yang di dalamnya terdapat hari raya Idul Adha. Jelaslah bahwa kata longkang berarti space waktu yang kosong tanpa adanya hari raya.
Space waktu kosong (longkang) di antara dua hari raya hendaknya digunakan secara maksimal oleh masyarakat Jawa untuk berdzikir dan memanjatkan doa kepada yang kuasa. Hal ini dicontohkan oleh leluhur jawa dengan mengadakan bersih desa.
Acara bersih desa mulai ada dan berkembang sejak era anismisme dan dinamisme menjadi bagian dari kepercayaan masyarakat Jawa. Bersih desa dilakukan semata-mata untuk memberikan hak penghormatan kepada leluhur yang telah babad alas dan memberikan berkah melimpah pada desa tersebut. Pesan dari kegiatan bersih desa adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Sang Mahakuasa, bukan hanya kegiatan bersenang-senang yang banyak dilakukan pada bulan-bulan yang mengapitnya.
Tradisi Bersih Desa di Bulan Dzulqo’dah
Reviewed by islamiro
on
Mei 25, 2023
Rating:
Tidak ada komentar: