Dalam bahasa Arab, istilah tanah air dikenal dengan kata wathanyang berarti tanah air, tanah kelahiran, atau negeri. Kata lain yang juga digunakan adalah daar yang biasa diartikan rumah, tempat tinggal, negeri, atau sejenisnya. Al-Jurjani pernah menyebut istilah al-wathan al-ashli, yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya. “Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya,” (Lihat Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani, At-Ta`rifat, Beirut, Darul Kitab Al-‘Arabi, cet ke-1, 1405 H, halaman 327).
Tempat tinggal merupakan keperluan alamiah (thabi’i). Seluruh manusia, bahkan juga binatang, meniscayakan kebutuhan yang satu ini. Tapi mencintainya adalah bagian dari mencintai kebutuhan primer manusiawi yang memang sangat dijunjung tinggi oleh syariat. Tidak salah bila para ulama mengatakan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman (hubbul wathan minal iman).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah mengungkapkan rasa cintanya kepada tanah kelahiran beliau, Makkah. Hal ini bisa kita lihat dalam penuturan Ibnu Abbas radliyallahu ‘anh yang diriwayatkan dari Ibnu Hibban:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلْدَةٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ، مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ
Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Alangkah baiknya engkau (Makkah) sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu” (HR Ibnu Hibban).
Setelah pengusiran tersebut, Nabi lantas hijrah ke kota Yatsrib yang di kemudian hari bernama Madinah. Di tempat tinggal yang baru ini, Rasulullah pun berharap besar bisa mencintai Madinah sebagaimana beliau mencintai Makkah. Seperti yang terungkap dalam doa beliau yang terekam dalam Shahih Bukhari.
اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ
“Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kami pada Makkah.” (HR al-Bukhari 7/161)
Jelasnya, cintah tanah air bukanlah ‘ashabiyah (fanatisme) sebagaimana dituduhkan oleh sebagian kalangan. Seolah-olah cinta tanah air berarti fanatik buta kepada negeri sendiri lalu mengabaikan atau bahkan merendahkan negeri lain. Tidak demikian. ‘Ashabiyahyang menjangkiti suku-suku zaman jahiliyah adalah sesuatu yang sangat dibenci Rasulullah. Fanatisme kesukuan memicu munculnya banyak perseteruan antargolongan. Menganggap cinta tanah sebagai ‘ashabiyah sama dengan menganggap Rasulullah melakukan sesuatu yang beliau benci sendiri. Tentu pandangan ini sama sekali tidak masuk akal.
Cinta tanah air mengandung asosiasi mengasihi, merawat, mengembangkan, juga melindungi. Ketika Rasulullah mencintai negeri Makkah, beliau menjadi orang yang sangat peduli terhadap penindasan dan bejatnya moral masyarakat musyrik kala itu. Saat beliau mencintai Madinah, beliau juga membangun masyarakat beradan dengan sistem hukum yang adil untuk masyarakat yang majemuk di Madinah.
Cinta tanah air bukan soal egoisme kelompok. Cinta tanah air adalah tentang pentingnya manusia memiliki tempat tinggal yang memberinya kenyamanan dan perlindungan. Cinta tanah air juga tentang kemerdekaan dan kedaulatan. Sehingga siapapun yang berusaha menjajah atau mengusir dari tanah tersebut, Islam mengajarkan untuk melakukan pembelaan. Ketika kondisi aman, mencintai tanah air adalah sebuah hal wajar, bahkan sangat dianjurkan.
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Dengan demikian, cinta tanah air jauh dari pengertian fanatisme kelompok. Ia hadir justru dari semangat untuk menghargai seluruh manusia yang tinggal dalam satu tanah air yang sama meski berasal dari kelompok yang berbeda-beda. Hidup saling menghargai, saling menolong, dan saling melindungi. Karena tanah air adalah tempat mereka lahir, sumber makanan, tempat beribadah, dan mungkin sekali juga tempat peristirahatan terakhir bagi kita.
Tag :
Hujjah ASWAJA