Kebiasaan berucap salam telah menjadi satu di antara indikator kualitas keislaman seseorang. Akan tetapi ada sejumlah pengecualian dan perincian hukum tersendiri terkait subyek pelaku dan obyek sasaran salam.
Berucap salam dan menjawabnya, jika terjadi antar lawan jenis, terdapat hukum tersendiri. Karena dalam hal ini bisa menumbuhkan ketertarikan yang berujung pada “fitnah” yang harus dihindari. Potensi ketertarikan inilah yang dijadikan pijakan pemilahan ketentuan hukum dalam detil-detil praktik salam. Sehingga dalam praktik salam antara lelaki ajnabiy dan perempuan ajnabiyah, yakni yang tidak ada hubungan suami istri, atau hubungan mahram, hukumnya tidak lagi sunah ataupun wajib.
Bagi perempuan, memulai berucap salam (ibtida’ as-salam) kepada lelaki ajnabiy (bukan mahram) hukumnya haram. Demikian pula hukum menjawab salam dari lelaki ajnabiy, adalah juga haram. Beda halnya dengan lelaki, hukum berucap salam kepada perempuan ajnabiyah adalah makruh. Demikian pula, makruh hukumnya, menjawab salam dari perempuan ajnabiyah.
Hal ini, karena faktor ketertarikan seorang lelaki ajnaby yang timbul akibat ucapan atau jawaban salam dari seorang perempuan ajnabiyyah, lebih besar dibandingkan ketertarikan seorang perempuan ajnabiyyah yang ditimbulkan akibat ucapan atau jawaban salam dari seorang lelaki ajnaby. Sehingga kadar potensi fitnah yang ditimbulkan pun juga akan berbeda, dan berakibat pada perbedaan hukumnya. Fitnah dalam hal ini adalah dorongan-dorongan yang mengarah pada terjadinya perselingkuhan (baca : jima’) atau berduaan (khalwah).
Ada sejumlah bentuk kasus ucapan salam antar lawan jenis, yang karena diperkirakan biasanya tidak menimbulkan fitnah, maka hukumnya pun berbeda dengan paparan di atas.
1. Antar lawan jenis yang terdapat hubungan suami istri. Karena hubungan di antara keduanya adalah legal, maka berucap salam di antara keduanya diperbolehkan. Bahkan, sunah untuk memulai salam dan wajib dalam menjawabnya, karena ada anjuran untuk menjaga keharmonisan di antara keduanya.
2. Antar lawan jenis yang terdapat hubungan mahram (keharaman menikah di antara keduanya karena hubungan kekerabatan, sesusuan atau besanan). Dianjurkan ucapan salam di antara keduanya, sunah memulai salam, dan wajib menjawabnya.
3. Antar lawan jenis ajnaby – ajnabiyyah, akan tetapi salah satu pihak berusia lanjut (‘ajuz). Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d radliyallahu anhu, dia berkata, ”Ada seorang wanita tua yang memunguti batang talas dan memasukkannya dalam tempayan, lalu membuat tepung dari gandum. Seusai salat Jum’at, kami berucap salam kepadanya dan dia menyuguhkan makanan itu pada kami,” (HR. Bukhari).
4. Antar lawan jenis ajnaby – ajnabiyyah, akan tetapi salah satu pihak adalah sekumpulan orang. Yakni antara satu orang lelaki ajnabiy dan sekumpulan wanita ajnabiyyah. Atau sebaliknya, antara satu orang wanita ajnabiyyah dan sekumpulan lelaki ajnabiy, dengan syarat aman dari potensi fitnah. Diriwayatkan dari Asma’ binti Yazid radliyallahu anha, dia berkata,
وَعَنْ أَسْمَاءَ بَنْتِ يَزِيدَ رَضيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : مَرَّ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صلي الله عليه وسلم فِى نِسْوَةٍ فَسَلَّمَ عَلَيْنَا. رَوَاهُ أَبُوْدَاوُدَ
”Rasulullah Saw lewat di depan kami beserta para perempuan, lalu beliau mengucapkan salam kepada kami,” (HR. Abu Dawud)
5. Ucapan salam lelaki ajnaby kepada wanita ajnabiyyah di hadapan mahram dari wanita tersebut. Hal ini diperbolehkan, sebagaimana dituturkan Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.
Perincian hukum di atas adalah ketika salam diucapkan secara langsung atau face to face. Bagaimana jika ucapan salam antar lelaki ajnabiy dan wanita ajnabiyyah dilakukan melaui media tulisan atau titipan melalui orang lain?
Menurut Syafi’iyyah, memahami dari paparan-paparan pendapat yang ada, menunjukkan bahwa hukumnya sama saja saja dengan ucapan salam secara langsung atau face to face. Sebagaimana paparan sebelumnya, ucapan salam antar lawan jenis ajnabiy – ajnabiyyah adalah bukan sesuatu yang dianjurkan, akan tetapi makruh bagi lelaki, dan haram bagi wanita.
Sedangkan dalam kalangan madzhab Hanbali, seperti dalam Kasysyâf al-Qinâ’ disebutkan, bahwa seorang lelaki yang menitipkan salam kepada wanita ajnabiyyah tidaklah mengapa. Karena dalam salam tersebut terdapat kemaslahatan (yakni kandungan doa) dengan pertimbangan ketiadaan sisi negatif yang berupa fitnah atau potensi zina dan pendahuluannya.
Demikian hokum mengucap salam antar lawan jenis sesuai dengan keterangan kitab-kitab kelasik. Namun, dalam penerapan keseharian, hendaklah diperhatikan kemungkinan sisi negatif yang bakal ditimbulkan. Apalagi di zaman teknologi komunikasi yang serba canggih ini, sisi negatif akan lebih banyak merongrong interaksi antar lawan jenis. Sedangkan kaedah fiqh menyatakan bahwa dar’ul mafâsid muqaddam ‘ala jalb al-mashâlih, mengantisipasi dampak negatif harus diprioritaskan dari mengakomodir kemaslahatan. (dari beberapa sumber)
Tag :
Bahtsul Masail