Deskripsi Masalah: Perjanjian Pra Nikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah. Perjanjian pra nikah berlaku sejak pernikahan dilangsungkan dan isinya antara lain mengatur bagaimana harta kekayaan akan dibagi jika seandainya terjadi perceraian atau kematian dari salah satu pasangan. Perjanjian ini juga bisa memuat bagaimana semua urusan keuangan keluarga akan diatur atau ditangani selama perkawinan atau pernikahan berlangsung.
Sebagaimana telah di atur oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur mengenai perjanjian pra nikah. Pasal 29 menyebutkan:
- Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
- Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
- Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
- Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Pertanyaan:
Bagaimanakah tinjauan syariat terhadap perjanjian pra nikah tersebut?
Jawab: Jika perjanjian pra nikah tersebut berada pada rangkaian aqad/fishulbil ’aqdi maka ditafshil:
- Jika dalam perjanjian tersebut sesuai dengan aturan sara’ seperti tidak sampai menghalang-halangi suami istri untuk mendapatkan hak-haknya maka perjanjian itu di perbolehkan dan tidak berpengaruh pada keabsahan aqad nikah.
- Jika dalam perjanjian tersebut tidak sesuai dengan aturan sara’ seperti menghalangi salah satu pihak untuk mendapatkan haknya maka membuat perjanjian tersebut tidak di perbolehkan dan pernikahannya bisa batal.
Jika tidak masuk dalam rangkaian akad, maka perjanjian tersebut tidak berpengaruh sama sekali terhadap keabsahan aqad nikah.
Referensi:
1. Al Hawi fi Fiqh al Iaslam, juz 9, halaman 505
2. Al Fiqh al Madzahabil Arba’ah, juz 9, halaman 52
3. Fathal Mu’in, juz 4, halaman 337 (maktabah syamilah)
الحاوي في فقه الشافعي, (ح: 9, ص: 505) قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: اعْلَمْ أَنَّ الشَّرْطَ فِي النِّكَاحِ ضَرْبَانِ : جَائِزٌ، وَمَحْظُورٌ. فَأَمَّا الْجَائِزُ: فَمَا وَافَقَ حُكْمَ الشَّرْعِ فِي مُطْلَقِ الْعَقْدِ، مِثْلَ أَنْ يَشْتَرِطَ عَلَيْهَا: أَنَّ لَهُ أَنْ يَتَسَرَّى عَلَيْهَا ، أَوْ يَتَزَوَّجَ عَلَيْهَا، أَوْ يُسَافِرَ بِهَا، أَوْ أَنْ يُطَلِّقَهَا إِذَا شَاءَ، أَوْ أَنْ تَشْتَرِطَ هِيَ عَلَيْهِ: أَنْ يُوَفِّيَهَا صَدَاقَهَا، أَوْ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهَا نَفَقَةَ مِثْلِهَا، أَوْ يَقْسِمَ لَهَا مَعَ نِسَائِهِ بِالسَّوِيَّةِ. فَكُلُّ هَذِهِ الشُّرُوطِ جَائِزَةٌ، وَالنِّكَاحُ مَعَهَا صَحِيحٌ، وَالْمُسَمَّى فِيهِ مِنَ الصَّدَاقِ لَازِمٌ؛ لِأَنَّ مَا شَرَطَهُ الزَّوْجُ مِنْهَا لِنَفْسِهِ يَجُوزُ لَهُ فِعْلُهُ بِغَيْرِ شَرْطٍ، فَكَانَ أَوْلَى بِأَنْ يَجُوزَ مَعَ الشَّرْطِ. وَمَا شَرَطَتْهُ الزَّوْجَةُ عَلَيْهِ يَلْزَمُهُ بِغَيْرِ شَرْطٍ، فَكَانَ أَوْلَى أَنْ يَلْزَمَهُ الشَّرْطُ، وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ أَحَقَّ مَا وَفَّيْتُمْ بِهِ مِنَ الشُّرُوطِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ. وَأَمَّا الْمَحْظُورُ مِنْهَا: فَمَرْدُودٌ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ ، وَلَوْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ ، شَرْطُ اللَّهِ أَحَقُّ وَعَقْدُهُ أَوْثَقُ وَرُوِيَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : الْمُؤْمِنُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا . وَالشُّرُوطُ الْمَحْظُورَةُ في النكاح تَنْقَسِمُ أَرْبَعَةَ أَقْسَامٍ: أَحَدُهَا: مَا يَبْطُلُ بِهِ النِّكَاحُ. وَالثَّانِي: مَا يَبْطُلُ بِهِ الصَّدَاقُ. وَالثَّالِثُ: مَا يَخْتَلِفُ حُكْمُهُ لِاخْتِلَافِ مُشْتَرِطِهِ . وَالرَّابِعُ : مَا اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِيهِ .
فَصْلٌ: [الْقَوْلُ فِي الشُّرُوطِ الَّتِي تُبْطِلُ النِّكَاحَ] فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ مَا يُبْطِلُ النِّكَاحَ، فَهُوَ كُلُّ شَرْطِ رَفَعَ مَقْصُودَ الْعَقْدِ، مِثْلَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا عَلَى أَنَّهَا طَالِقٌ رَأْسَ الشَّهْرِ، أَوْ إِذَا قَدِمَ زَيْدٌ، أَوْ عَلَى أَنَّ الطَّلَاقَ بِيَدِهَا تُطَلِّقُ نَفْسَهَا مَتَى شَاءَتْ. فَالنِّكَاحُ بِهَذِهِ الشُّرُوطِ بَاطِلٌ، سَوَاءٌ كَانَتْ هَذِهِ الشُّرُوطُ مِنْ جِهَتِهِ أَوْ مِنْ جِهَتِهَا؛ لِأَنَّهَا رَافِعَةٌ لِمَقْصُودِ الْعَقْدِ مِنَ الْبَقَاءِ وَالِاسْتِدَامَةِ، فَصَارَ النِّكَاحُ بِهَا مُقَدَّرَ الْمُدَّةِ، فَجَرَى مَجْرَى نِكَاحِ الْمُتْعَةِ، فَكَانَ بَاطِلًا.
Ketahuilah sesungguhnya syarat dalam pernikahan ada dua macam, yaitu yang boleh dan yang dilarang. Syarat yang diperbolehkan yaitu syarat yang sesuai dengan hukum syara’ disaat akat, seperti suami mensyaratkan pada istrinya agar istrinya membuat senang suaminya, suami menggauli istrinya, bepergian besertaan istrinya, atau suami mentalaknya kapanpun suami berkehendak. Atau istri memberi syarat pada suami, untuk memenuhi mas kawinnya, memberi nafkah pada umumnya, membagi antara istri-istrinya dengan sama, semua syarat di atas diperbolehkan, dan nikah besertaan syarat tersebut syah, dan menentukan mahar sudah suatu keharusan, karena apa yang di syaratka suami adalah sesuatu yang boleh dilakukan meskipun tanpa disyaratkan, apalagi kalau disyaratkan. Diriwayatkan dari Nabi SAW, bersabda: “Sesungguhnya perkara yang lebih hak adalah memenuhi syarat-syarat perkara yang dapat membuat halal alat vital (halal bersetebuh)”. Adapun membuat syarat yang dilarang (tidak sesuai dengan aturan syara’) itu ditolak (tidak diperbolehkan), karena Sabda Nabi SAW: “Setiap syarat yang tidak ada atau tidak sesuai kitab Allah itu batal meskipun seratus syarat, ketenuan allah lebih berhak untuk di penuhi, dan aturan Allah lebih kuat”. Dan diriwayatkan dari Nabi SAW: “Orang-orang mukmin harus memenuhi syaratnya kecuali syarat yang menghalalkan perkara haram atau mengharamkan perkara halal. Syarat yang dilarang di dalam pernikahan dibagi empat macam, 1. Dapat membatalkan pernikahan, 2. Dapat membatalkan mas kawin, 3. Berbeda hukumnya karena berbeda yang di syaratkan, 4. Perkara yang masih di perselisihkan di antara ashab syafi’i.
Pembahasan Tentang syarat yang dapat membatalkan pernikahan. Syarat yang dapat membatalkan pernikahan adalah syarat yang dapat menghilangkan tujuan pernikahan, seperti suami menikah dengan mensyaratkan akan mentalak istrinya di awal bulan atau ketika zaid datang, atau saat menikah suami mensyaratkan bahwa kekuasaan mentalak berada pada kekuasaan istri, sehingga istri bisa sewaktu-waktu mentalak suaminya, maka pernikahan dengan syarat di atas itu batal, baik syarat itu berasal dari suami atau dari istri, karena syarat-syarat di atas dapat menghilangkan tujuan pernikahan yaitu keabadian, maka pernikahan dengan syarat di atas pernikahannya di batasi waktu maka akan seperti nikah mutah (nikah kontrak) maka pernikahannya batal.
الفقه على المذاهب الأربعة, (ج:9, ص: 52) والخلاصة: أن الفقهاء اتفقوا على صحة الشروط التي تلائم مقتضى العقد، وعلى بطلان الشروط التي تنافي المقصود من الزواج أو تخالف أحكام الشريعة
Kesimpulan kesepakatan para fuqoha’ bahwa syarat yang sah adalah syarat yang sesuai dengan tuntutan akat, dan syarat yang batal adalah syarat yang menghilangkan tujuan dari pernikahan atau bertentangan denga hokum-hukum syara’
فتح المعين (3/ 337) ويجوز لكل من الزوجين خيار بخلف شرط وقع في العقد لا قبله كأن شرط في أحد الزوجين حرية أو نسب أو جمال أو يسار أو بكارة أو شباب أو سلامة من عيوب كزوجتك بشرط أنها بكر أو حرة مثلا، فإن بان أدنى مما شرط فله فسخ ولو بلا قاض
Boleh bagi setiap suami istri melakukan hiyar sarat (membuat perjanjian) yang dituangkan dan disebutkan pada saat akad nikah bukan jenis perjanjian yang disebutkan sebelum akat, seperti beduanya bersumpah dengan beberapa sarat (keduanya membuat kesepakatan/perjanjian), seperti salah satu suami istri mensyaratkan merdeka, atau nasab, cantik, kaya, perawan, muda, selamat dari aib seperti aku menikah pada kamu dengan syarat istriku perawan atau merdeka seumpama, maka jika istrinya sifatnya dibawahnya dari yang telah di syaratkan maka boleh bagi suami membatalkan pernikahan meskipun tanpa melalui qodli. (Hasil Bahtsul Masail PW LBMNU Propinsi Lampung)
Tag :
Bahtsul Masail
0 Comments for "Perjanjian Pra Nikah"