Islam datang ke Indonesia tidak melalui perang, tetapi melalui penyebaran ilmu dengan penyampaian yang santun dan dengan sentuhan hati dari para pembawanya yang arif sehingga menjadi agama mayoritas.
Kekuatan imam para pemeluknya kala itu juga tidak bisa di pandang sepeleh, melihat sejarah Indonesia yang di jajah oleh orang-orang non muslim ratusan tahun seharusnya Islam tidak menjadi agama mayoritas di Indonesia, tetapi nyatanya tidak.
Hal ini bisa menjadi gambaran dari kekuatan Islam dan Iman para pemeluknya kala itu. Sementara negara-negara lain, selain Indonesia yang terjajah, sebagian kecil atau separuh penduduknya, atau bahkan sebagian banyak penduduknya akan berganti agamanya seperti agama penjajahnya.
Islam yang datang ke Indonesia yang di bawah oleh ulama’-ulama’ pada saat itu adalah islam sejati, Islam yang rohmatallil alamin, terbukti dari sifat dan sikap para pemeluknya yang santun, tidak sok pintar, tidak sok benar, tidak petentengan dan tidak takfiri. Sifat dan sikap itu tidak tumbuh begitu saja, tetapi jelas hasil dari didikan dan uswah para ulama’nya.
Seiring dengan laju zaman dan kecanggihan media-media informasi, datang pemahaman-pemahaman baru tentang Islam yang sengaja disusupkan dan dipropagandakan untuk mencabik-cabik kerukunan dan ketenteraman umat Islam di Indonesia. Dengan dalih memurnikan ajaran Islam dan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Mereka sengaja mengoyak kemapanan ajaran Islam yang sudah mengurat-saraf di Indonesia. Terbukti dari kebanyakan masalah-masalah yang sengaja mereka bidik dengan propaganda “bid’ahdan syirik” adalah masalah-masalah khilafiyah.
Baru-baru ini mereka membidik tradisi membuka dan menutup do’a atau membuka dan menutup acara dengan surat al-fatihah, memakai propaganda multi pakai yang biasa mereka lontarkan, yaitu, “itu tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shollallohu alaihi wasallam dan para generasi salaf tidak pernah melakukan itu, kalau seandainya itu baik tentu merekalah orang-orang pertama yang melakukannya”.
Ibnu Katsir Rohimahullah didalam kitab Tafsirnya (juz 1, hlm. 106 dan 736) meriwayatkan hadits riwayat Muslim dan an-Nasa’i. Ibnu Abbas berkata, Pada suatu ketika Rasulullah Shollallohu alaihi wasallam beserta Jibril, tiba-tiba Jibril mendengar keganjilan di atasnya, lalu jibril menengadah keatas lalu berkata, “Pintu ini telah terbuka dari langit, padahal (selama ini) tak pernah terbuka sama sekali”. Ibnu Abbas berkata lagi, “Kemudian turun seorang malaikat menghampiri Nabi shollallohu alaihi wasallam, lalu berkata, “Aku datang membawa kebahagiaan berupa cahaya dua, sungguh aku memberikan dua-duanya kepadamu, padahal tak satupun pernah diberikan kepada nabi sebelummu, yaitu, fatihatul kitab dan beberapa akhiran dari surat al-Baqoroh. Dan tidak dibaca satu hurufpun dari dua surat itu kecuali aku berikan (pahala) nya”.
Hadits diatas adalah salah-satu dari sekian hadits yang menjelaskan betapa besar fadlilah dan istimewanya surat al-Fatihah, sebuah cahaya dan surat yang hanya di berikan kepada junjungan Nabi kita Muhammad shollallohu alaihi wasallam.
Disebutkan di dalam Tafsir al-Qurthubi, bahwa surat al-Fatihah ini, juga memiliki dua belas lagi nama-nama yang hebat dan indah yang kesemuanya merujuk kepada al-Qur’an dan al-Hadits, yaitu, Ash-sholah, Al-Hamd, Fatihatul Kitab, Ummul Kitab, Ummul Qur’an, Al-Matsaani, Al-Qur’anul Adzim, Asy-Syifa’, Ar-Ruqyah, Al-Asas, Al-Wafiyah dan Al-Kafiyah.
Memandang fadlilah dan keistimewaannya yang masyhur, juga familier dan mudahnya di hafal oleh masyarakat awam, kemudian surat ini yang dipilih menjadi pembuka do’a atau pembuka acara, selain karena ngalap berkah juga tafaa’ul dengan al-Qur’an yang juga di buka dengan surat ini, oleh karenanya ia di sebut al-Fatihah (pembuka) dan Fatihatul Kitab (pembuka al-Qur’an).
Kemudian, menutup do’a dengan menghadiahkan pahala bacaan surat al-Fatihah kepada baginda Nabi shollallahu alaihi wasallam, al-Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul Muhkam al-Matin, (hlm. 270), mengatakan, “Menurut saya boleh saja seseorang menghadiahkan bacaan Al-Qu’an atau yang lain kepada baginda Nabi saw., meskipun beliau selalu mendapatkan pahala semua kebaikan yang dilakukan oleh umatnya, karena memang tidak ada yang melarang hal tersebut. Kalau para sahabat tidak melakukannya, hal ini tidak menunjukkan bahwa itu dilarang”.
Dalam Qoidah Fiqh disebutkan "al Ashlu Fil 'Aadati Mubahun" (aslinya adat atau tradisi itu boleh dilakukan) kecuali kalau ada dalil yang melarangnya, maka adat atau tradisi itu harus dihentikan dan ditinggalkan. Di dalam al-Qur’an surat al-Hasyr, 7. disebutkan “Apa-apa yang Rasul membawanya kepada kamu maka ambillah dan apa-apa yang Rasul melarang kamu maka berhentilah (tinggalkanlah). kalau tidak ada larangan dari Rasul SAW, mengapa harus berhenti!. Wong Rasul SAW tidak pernah melarang tradisi tersebut.
Tag :
Hujjah ASWAJA